Ini adalah tugas mata kuliah Metodologi Studi Islam saya.... berisikan resensi dari lima buah buku....semoga bermanfaat bagi para pembaca..... ;-)
Nama
: Muhammad syukron hamdani
Nim : 1320210060
Kelas : ekonomi syariah B
v MINHAJUL
ABIDIN
Min
hajul abidin yang membahas jalan ibadah dengan tujuh tahapan yaitu :
1) Ilmu
dan ma’rifat
2) Tobat
3) Godaan
4) Rintangan
5) Pendorong
6) Cacat
– cacat atau celaan
7) Puji
dan syukur
Sebelum
benar – benar melakukan ibadah maka seseorang harus punya ilmu tentang
bagaimana cara beribadah serta harus makrifat yaitu yakin akan adanya allah
inilah inti dari tahap pertama dari kitab minhajil abidin. Pada tahap kedua
berkaitan dengan tobat, yaitu ketika seseorang akan melakukan ibadah maka ia
akan terlintas di dalam benaknya dengan dosa dan kemaksiatan yang telah di
kerjakan. Jika demikian, maka harus bertobat dan membersihkan diri dari
perbuatan maksiat dan menunjukkan rasa penyesalan segala dosa.
Pada
tahap ketiga yaitu tentang godaan, yaitu ketika ia akan beribadat tetapi niat
tersebut terhalangi oleh pikirannya yang terhalangi oleh beberapa hal yaitu
dunia, manusia, setan dan hawa nafsu. Maka untuk mencapai tujuan ibadat ia harus
mampu melewati godaan – godaan yang di timbulkan oleh empat hal tersebut. Untuk
melewati empat hal ini maka seseorang harus menempuh empat cara yaitu tajarrud
ani-dunya (membulatkan tekad hingga kesenangan dunia tidak mampu mengoyahkan
niatnya ), menjaga diri agar tidak tersesat oleh godaan orang lain, memerangi
setan serta segala tipu dayanya, mampu mengendalikan hawa nafsu.
Pada
tahap empat yaitu tahap rintangan yaitu ketika ia mengalami kesulitan, bingung,
sedih menyadari adanya hambatan – hambatan yang merintangi niatnya untuk
beribadah. Takdir yang manis dan ada pula yang getir dan hawa nafsu yang cepat
mengeluh, untuk melewati hal tersebut tawakal serta sabar kepada allah .
Pada
tahap selanjutnya seseorang tersebut akan merasa malas,lesu dan tidak bergairah
melakukan kebaikan. Hawa nafsu membuatnya lalai dan malas bekerja. Bahkan ia
cenderung berbuat kejahatan. Dalam saat seperti ini maka ia membutuhkan seorang
pendamping untuk mendorong dan menuntunnya untuk beribadah. Akan tetapi ia
merasa adanya gejala – gejala sifat riya’ dan ujub dalam beribadah. Suatu saat
berpura – pura beribadah agar di lihat orang lain dan suatu saat bersifat
sombong dan ujub dan sifat itu merugikan dan bahkan menghancurkan ibadahnya.
Solusinya adalah maka ia harus berusaha menjaga kemurnian dalam ibadahnya , ia
harus ikhlas dan dzikrul minnah (selalu ingat terhadap kekuasaan allah, sehinga
tidak takabbur) dalam menjalankannya. Inilah dua tahapan yaitu pendorong dan
celaan.
Berkat
izin allah dan kebulatan tekadnya, ia mampu melewati rintangan – ritangan dan beribadat
dengan sebenar benarnya. Namun timbul masalah yakni tengelamnya dalam
kenikmatan yang di berikan oleh allah membuatnya lupa diri dan kufur. Inilah
bagian dari tahap terakhir yaitu memuji dan mensyukuri nikmat allah. Maka ia
harus banyak mensyukuri segala nikmat yang di berikan oleh allah. Setelah itu
kini tingal beberapa langkah untuk mencapai tujuan dari ibadat itu. Ia semakin
mendekati mahabbah ( kecintaan terhadap allah ). Semakin dekat dan akhirnya
akan mencapai tingkat yang paling mulia dan terhormat. Ia merasa seolah – olah
jiwanya telah berada di akhirat, meski jasadnya masih di dunia yang fana ini.
Hari demi hari ia menunggu pangilan dari allah sampai – sampai ia merasa benci
dan bosan dengan kehidupan dunia dan makhluk serta keadaan di sekitarnya. Ia
ingin pulang menghadap allah.
Maka
tiba – tiba datanglah utusan – utusan allah rabbul alamin dengan wewangian dan
membawa kabar gembira yaitu membawanya ke surga. Di sana ia menikmati karunia
tuhannya yang maha pemurah. Pendek kata, kenikmatan , kemuliaan , yang belum
pernah di rasakan sebelumnya bahkan kian hari kenikmatan dan kemuliaan itu kian
bertambah. Ia sangat bahagia, tinggal di kerajaan yang sangat agung. Sesungguhnya itulah tempat sebaik – baik
kembali bagi orang Mahmud ( terpuji )
v TA’LIMUL
MUATAALLIM
Ta’limul mutallim adalah kitab yang
membicarakan bagaimana seharusnya orang sebagai makhluk hidup mengarungi
kehidupan. Fasal awal mencoba memberi batasan terhadap apa saja yang berkaitan
dengan isi kitab.Tentang ilmu, keutaman-keutamaannya, bagian-bagiannya dan cara
yang seharusnya untu menghasilkan ilmu itu. Karena mencari ilmu itu ibadah,
niat tholabul ilmi yang faridhotun itu tidak boleh ditinggalkan. Tentu saja yang
dilakukan tholib agar mendapatkan pahala disamping dimaksudkan pula untuk
memicu dan memacu semangat pencarian, menangkal pembiasaan, menjaga
koinsistensi, menuntun keberhasilan dan tujuan ritualistik yang lain. Dari
sinilah seharusnya kandungan kitab ta’limul muatallim didekati. Melakukan niat
tholabil ilmi ini diurai pada fasal dua, anniyah fi haalit ta'allumi yaitu
kaitamya dengan niat di dalam mencari ilmu.
Pada fasal ketiga dikemukakan
perlunya selektif dalam memilih ilmu, guru dan teman bermusyawarah sebelum
terjun kedalam kancah ta'allum. Pada fasal ini muncul keharusan menjaga terus
minat ta'allum, konsistensi dan tabah dalam tekun terhadap ilmu yang dipelajari
dan dialami. Karena memang ilmu yang dipelajari, guru yang mengajar,dan teman
yang bersamanya mandalami ilmu itu, dipilihnya sendiri secara selektif itu
tadi.
Fasal berikutnya adalah tentang
kewajiban ta'dhim terhadap ilmu itu sendiri dan ahli ilmu. Fasal keenam adalah
tentang bagaimana seharusnya pencari ilmu berbuat. Dia harus sungguh sungguh
dan disiplin. Kesungguhannya itu menopang diatas cita-cita yang luhur. Memulai
(starting) terjun, memperkirakan kemampuan dan tertib belajar sesuai dengan
kondisi diri dan ihwal ilmu yang diterjuni adalah bahasan fasal ketujuh.
Tawakkal, kapan seharusnya tholibul
ilmi, berusaha menghasilkan, ramah dan setia terhadap cita-cita, tidak
melewatkan waktunya dan istifadah (membuat catatan-catatan baik dalam tulisan
maupun benak), waro' (menjaga makanan dan perbuatan yang dilarang untuk tidak
disantap atau dilakukan), apa saja yang membuat orang mudah menghafal dan yang
mudah membuat orang gampang lupa dan yang terakhir adalah tentang amalan dan
bacaan yang membuat pelakunya tercurahi rizqi Allah. Itu semua adalah pasal
kedelapan sampai ketigabelas.
Asas manfaat yang mendasari
keibadahan tholabil 'ilmi sebagai pendekatan. Pada awal coret-coret ini, saya
mengemukakan bahwa ilmu nafi' yang muntafa' bih adalah anugerah dari Allah yang
"allamal insaana maa lam ya' lam". Manfaat dan guna yang didapat oleh
orang yang memperoleh keuntungan dari ilmu itu, tidak hanya didunia ini saja,
namun juga akhiratnya. Karena itu untuk menghasilkan ilmu yang bermanfaat,
tidak hanya menghajatkan peranan dari pencari ilmu itu sendiri. Peranan Allah
dan peranan perantara guru dimana orang berhasil mandapatkan ilmu, sama sekali
tidak bisa dipisahkan. Hal-hal yang melibatkan Allah SWT. Demi perkenan-Nya,
ridho-Nya, kita menyebutnya ibadah.
Ibadah sebagaimana amal-amal lain,
ada permulaannya, prosesnya dan akhirnya. Masing-masing menghajatkan pada
pemenuhan aturan main yang telah ditetapkan agar yang dilakukannya tidak
sia-sia dan sah adanya. Apalagi amal ibadah yang bernama tholabil ilmi
menempati peringkat diatas qiyamil lail dan puasa sunnah, mengapa? Ya, karena
ilmu itulah yang mengantar orang terhormat dan mulia disisi Allah oleh karena
ketakwaan, "Inna akromakum 'indallohi atqaakum". Ilmu adalah wasilah
untuk takwa dan takwa adalah wasilah mulia 'indallah. Yang mulia 'indalloh
(menurut allah ) tentu mulia 'inda siwahu min kholqihi (menurut selain allah ).
Ilmu yang menjadi washilah kepada takwa itulah yang dapat disebut sebagai ilmu
nafi' wa muntafa' bih (ilmu yang bermanfaat).
Berangkat dari sini, kiranya tidak
berlebihan manakala kita pertama-tama harus mampu menempatkan kedudukan ilmu
sedemikian rupa, sehingga ghoyatun nafi' dan intifa' dapat dicapai oleh tholib.
Dan pada tempatnya pula dia bersikap ta'dhim terhadap apa dan siapa yang
diharapkannya akan memberi manfaat yang sebesar-besarnya kepada dirinya, dunia
dan akhirat. Kendatipun dia secara filsofis terpaksa menentukan klasifikasi
ta'd'him itu. Tergantung pada siapa dia harus berlaku ta'dhim.
Memang pada dasarnya sifat batin
adalah sifat bathini, karenanya tidak transparan. Tampilannya bisa beberapa
bentuk sesuai dangan keadaan. Keadaan mu'adhdhim dan mu'adhdhom itu sendiri,
latar belakang keduanya dan seterusnya.
v PETUAH
USFURIYAH ( MAWA’IDUL USFURIYAH )
Kitab
karangan Muhammad bin abu bakar al usfuri ini berisi tentang hadis – hadis dan
hikayat – hikayat yang mengandung petuah – petuah berharga bagi setiap orang
islam serta terlepas dari nilai kekuatan hadisnya. Salah satu hadis yg ada di
kitab ini adalah hadis dari umar ia berkata Rasullullah SAW bersabda : “orang – orang yang suka menyayang,mereka
itu akan di kasihani oleh Yang Maha Pngasih. Kasihanilah siapa yang di bumi,
niscaya kamu akan di kasihani oleh yang berda di langit” hadis ini kaitannya agar kita
mempunyai sikap kasih sayang terhadap sesama makhluk, dari hadis ini di kitab
mawa’idul di munculkan hikayat seorang ahli ibadah dari bani Israel yang lewat
di suatu gundukan tanah . saat itu bani Israel di timpa kelaparan. Ia bercita –
cita dalam hati, seandainya tanah itu berubah menjadi tepung, niscaya bisa mengenyangkan
perut bani israil. Kemudian Allah mewahyukan kepada salah seorang nabi mereka (
bani Israel ), “katakanlah kepada si fulan bahwa Allah telah memberikan pahala
bagimu seperti andaikan tanah itu berubah menjadi tepung lalu engkau bersedekah
dengannya “
Barang
siapa mengasihi hamba – hamba Allah, niscaya Allah mengasihinya, karena hamba
itu mengasihi hamba – hamba Allah yang lainnya dengan perkataannya : “andaikan
tanah itu berubah menjadi tepung niscaya bisa mengenyangkan orang – orang, maka
ia pun mendapatkan pahala sebagaimana apabila di lakukannya.”
Masih
banyak lagi hadis dan hikayat yang ada di kitab mawaidul usfuri ini dan intinya
juga menasehati dan mengajak kita kepada kebaikan seperti larangan berputus
asa,anjuran menuntut ilmu, amal yang yang bisa menghapus dosa dan masih banyak
lagi.
v TRADISI
AMALIAH NU DAN DALIL- DALILNYA
Ketika
islam masuk di Indonesia islam begitu ramah menyapa masyarakat lokal.
Kecangihan wali songgo mengakomodasikan budaya – budaya lokal di dalam ajaran –
ajaran islam ,menampakkan hasil yang luar biasa pada masyarakat lokal yang
tadinya menganut dinamisme dan animisme, pelan – pelan mereka menghadiri
majelis – majelis dakwah yang di adakan wali songgo. Mereka hadir bukan karena
di paksa tapi sadar karena ajaran islam sangat simpatik dan patut di
ikuti.itulah hasil kreasi walisonggo yang patut di apresiasi. Islam adalah
agama yang mampu berakulturasi bahkan hampir bisa di katakan tak pernah
bermasalah dengan budaya lokal. Bahkan budaya lokal bisa di desain ulang atau
di modifikasi dengan tampilan yang elegan menurut syara’ dan lebih berdaya guna
demi meningkatkan kesejah teraan hidup.
Tak
heran bila kemudian muncul tradisi acara tahlil,yasinan, dzibaan, bertawassul,
ziarah kubur, dll. Tradisi yang seperti ini adalah tradisi amaliah warga NU di
mana dalam kaidah fikih hal tersebut di katakana sebagai “ al- adah muhakkamah ma lam yu khalif al –syar’I” ( tradisi yang
di perbolehkan selama tidak bertentangan dengan dasar – dasar syariah ) tetapi
menurut kelompok dakwah usrah atau liqa’ ( faham wahabisme ) mencela dan mengkritik
habis tradisi warga NU seperti tahlilan, barjanzi, yasinan, maulidan, ziarah
kubur, qunut, adzan jum’at dua kali, dan lainnya adalah perbuatan bid’ah bahkan
syirik. Mereka menebar dakwah atas nama pemurnian ajaran islam agar masyarakat
segera meninggalkannya. Karena tradisi yang turun – temurun itu menurut mereka
( wahabisme ) tidak pernah di lakukan oleh nabi SAW, dan bukan ibadah yang
sesuai dengan tuntunan agama ,melainkan hanya budaya. Itulah mereka ( wahabisme
) yang menafsirkan hadits tentang bid’ah yaitu “kullu bid’atin dholalatun wa kullu dholalatin fii an-nar” (artinya : semua bid’ah itu sesat dan semua
kesesatan itu di neraka ) secara sempit dan dangkal dalam berfikir.
Sedangkan
menurut imam nawawi tentang hadist bid’ah di atas adalah hadist tersebut masuk
kedalam kategori ‘am (umum ) yang harus di takhsis ( di perinci ) dan juga imam
al- hafidz ibnu rajab yang mengatakan bahwa hadist di atas di kategorikan ke
dalam ‘am akan tetapi yang di kehendaki
adalah khas ( ‘am yuridu bihil khash ). Artinya secara teks hadis tersebut
bersifat umum , namun dalam pemaknaannya di butuhkan rincian- rincian.
Bid’ah
sendiri menurut para ulama di dalam ibadah di bagi menjadi dua yaitu bid’ah
hasanah dan bid’ah dholalah. Di antara imam yang tersebut adalah imam syafi’I,
imam al-baihaqi, imam nawawi, imam al – hafidz ibnu atsitr. Bid’ah hasanah
adalah bid’ah yang mencocoki sunnah sedangkan bid’ah dholalah adalah yang tidak
mencocoki sunnah.
Lalu
pertanyaannya bolehkah melakukan bid’ah ?
Jawabannya
yaitu untuk bid’ah dholalah di larang sedangkan untuk melakukan bid’ah hasanah
di perbolehkan nabi SAW sesuai sabda beliau yang berarti : “barang siapa yang membut hal baru yang baik
dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak
kurang sedikitpun dari pahalanya, dan barang siapa membuat – buat hal baru yang
buruk , maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya dan tak di
kurangkan sedikitpun dari dosanya.” (shahih muslim no.1017 ) jadi intinya
amaliah amaliah warga nu seperti yang saya sebutkan di atas adalah boleh
meskipun ada anggapan bahwa itu bid’ah, karena pada zaman nabi tidak ada, meski
menurut para sahabat,tabi’in dan para
ulama juga hadist hadist nabi dan ayat – ayat al qur’an yang di jadikan dalil
warga NU membolehkan bid’ah yang hasanah asal tidak melenceng dari ajaran
islam.
v FIQH
MUAMALAH
Muamalah
menurut bahasa berasal dari kata aamala yang berarti saling bertindak, saling
mengamalkan. Menurut istilah terbagi manjadi dua yaitu arti sempit dan arti
luas.
Dalam
arti sempit muamalah di artikan aturan – aturan allah yang wajibb di taati yang
mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam kaitannya dengan memperoleh dan
mengembangkan harta benda. Sedangkan menurut arti luas sama – sama mengatur hubungan
manusia tapi mencakup waris.
Menurut
ibn ‘abidin, fiqh muamalah terbagi menjadi lima bagian yaitu
1. Mu’awadlah
( hukum kebendaan )
2. Munakahat
( hukum perkawinan )
3. Muhasanat
( hukum acara )
4. Amanat dan ariyah
( pinjaman )
sedangkan
al- fikri dalam kitabnya membagi muamalah menjadi dua bagian yaitu al –
muamalah al- madiyah (muamalah bersifat kebendaan) seprti benda yang halal
haram dan syubhat untukdiperjual belikan, yang kedua yaitu al muamalah al
adabiyah yaitu muamalah yang di tinjau dari segi tukar menukar benda yang
bersumber dari panca indra manusia,yang unsure penegaknya adalah hak-hak dan
kewajiban.
Ruang
lingkup fiqh muamalah juga terbagi dua adabiyah dan madiyah, adabiyah kaitanya
dengan ijab qabul sedangkan madiyah kaitannya dengan masalah jual beli ,gadai
dll.
Fiqh
muamalah dalam arti luas juga membahas tentang hokum perdata, hokum perdata
positif ( yang sedang berlaku ) di
Indonesia mengatur hokum orang pribadi dan hokum keluarga, hokum benda, dan
hokum waris, hukum perikatan, bukti, dan daluwarsa. Hal ini di jelaskan oleh
H.A. Dzajuli dalam bukunya ilmu fiqh dengan
menyatakan bahwa bidang – bidang tersebut dalam hokum islam terdapat dalam al-ahwalu as-syahsiyah, muamalah dan
qadha. Oleh karena itu tidaklah tepat mempersamakan bidang fiqh muamalah dengan
hokum perdata. Bahkan ada sebagian hokum perdata oleh para ulama di bahas dalam
bidang ushul fiqh,seperti tentang subjek hokum atau orang mukallaf. Sistematik
fiqh muamalah dan hokum perdata positif terdapat perbedaan – perbedaan karena
sistematika hokum perdata mengatur orang pribadi, sedangkan hokum orang pribadi
tidak di jelaskan dalam fiqh muamalah, tetapi di jelaskan di jelaskan dalam
ushul fiqh.
0 comments:
Post a Comment