Tuesday, 12 July 2016

Resensi Minhajul Abidin, Ta'limul muta'allim, Mawa'idul Usfuriyyah ( Petuah Usfuriyah ), Tradisi Amaliah Warga NU dan Fiqih Muamalah

Ini adalah tugas mata kuliah Metodologi Studi Islam saya.... berisikan resensi dari lima buah buku....semoga bermanfaat bagi para pembaca..... ;-)



Nama : Muhammad syukron hamdani
Nim     : 1320210060
Kelas   : ekonomi syariah B

v  MINHAJUL ABIDIN
Min hajul abidin yang membahas jalan ibadah dengan tujuh tahapan yaitu :
   1)      Ilmu dan ma’rifat
2)      Tobat
3)      Godaan
4)      Rintangan
5)      Pendorong
6)      Cacat – cacat atau celaan
7)      Puji dan syukur
Sebelum benar – benar melakukan ibadah maka seseorang harus punya ilmu tentang bagaimana cara beribadah serta harus makrifat yaitu yakin akan adanya allah inilah inti dari tahap pertama dari kitab minhajil abidin. Pada tahap kedua berkaitan dengan tobat, yaitu ketika seseorang akan melakukan ibadah maka ia akan terlintas di dalam benaknya dengan dosa dan kemaksiatan yang telah di kerjakan. Jika demikian, maka harus bertobat dan membersihkan diri dari perbuatan maksiat dan menunjukkan rasa penyesalan segala dosa.
            Pada tahap ketiga yaitu tentang godaan, yaitu ketika ia akan beribadat tetapi niat tersebut terhalangi oleh pikirannya yang terhalangi oleh beberapa hal yaitu dunia, manusia, setan dan hawa nafsu. Maka untuk mencapai tujuan ibadat ia harus mampu melewati godaan – godaan yang di timbulkan oleh empat hal tersebut. Untuk melewati empat hal ini maka seseorang harus menempuh empat cara yaitu tajarrud ani-dunya (membulatkan tekad hingga kesenangan dunia tidak mampu mengoyahkan niatnya ), menjaga diri agar tidak tersesat oleh godaan orang lain, memerangi setan serta segala tipu dayanya, mampu mengendalikan hawa nafsu.
            Pada tahap empat yaitu tahap rintangan yaitu ketika ia mengalami kesulitan, bingung, sedih menyadari adanya hambatan – hambatan yang merintangi niatnya untuk beribadah. Takdir yang manis dan ada pula yang getir dan hawa nafsu yang cepat mengeluh, untuk melewati hal tersebut tawakal serta sabar kepada allah .
            Pada tahap selanjutnya seseorang tersebut akan merasa malas,lesu dan tidak bergairah melakukan kebaikan. Hawa nafsu membuatnya lalai dan malas bekerja. Bahkan ia cenderung berbuat kejahatan. Dalam saat seperti ini maka ia membutuhkan seorang pendamping untuk mendorong dan menuntunnya untuk beribadah. Akan tetapi ia merasa adanya gejala – gejala sifat riya’ dan ujub dalam beribadah. Suatu saat berpura – pura beribadah agar di lihat orang lain dan suatu saat bersifat sombong dan ujub dan sifat itu merugikan dan bahkan menghancurkan ibadahnya. Solusinya adalah maka ia harus berusaha menjaga kemurnian dalam ibadahnya , ia harus ikhlas dan dzikrul minnah (selalu ingat terhadap kekuasaan allah, sehinga tidak takabbur) dalam menjalankannya. Inilah dua tahapan yaitu pendorong dan celaan.
            Berkat izin allah dan kebulatan tekadnya, ia mampu melewati rintangan – ritangan dan beribadat dengan sebenar benarnya. Namun timbul masalah yakni tengelamnya dalam kenikmatan yang di berikan oleh allah membuatnya lupa diri dan kufur. Inilah bagian dari tahap terakhir yaitu memuji dan mensyukuri nikmat allah. Maka ia harus banyak mensyukuri segala nikmat yang di berikan oleh allah. Setelah itu kini tingal beberapa langkah untuk mencapai tujuan dari ibadat itu. Ia semakin mendekati mahabbah ( kecintaan terhadap allah ). Semakin dekat dan akhirnya akan mencapai tingkat yang paling mulia dan terhormat. Ia merasa seolah – olah jiwanya telah berada di akhirat, meski jasadnya masih di dunia yang fana ini. Hari demi hari ia menunggu pangilan dari allah sampai – sampai ia merasa benci dan bosan dengan kehidupan dunia dan makhluk serta keadaan di sekitarnya. Ia ingin pulang menghadap allah.
            Maka tiba – tiba datanglah utusan – utusan allah rabbul alamin dengan wewangian dan membawa kabar gembira yaitu membawanya ke surga. Di sana ia menikmati karunia tuhannya yang maha pemurah. Pendek kata, kenikmatan , kemuliaan , yang belum pernah di rasakan sebelumnya bahkan kian hari kenikmatan dan kemuliaan itu kian bertambah. Ia sangat bahagia, tinggal di kerajaan yang sangat agung.  Sesungguhnya itulah tempat sebaik – baik kembali bagi orang Mahmud ( terpuji )
v  TA’LIMUL MUATAALLIM
            Ta’limul mutallim adalah kitab yang membicarakan bagaimana seharusnya orang sebagai makhluk hidup mengarungi kehidupan. Fasal awal mencoba memberi batasan terhadap apa saja yang berkaitan dengan isi kitab.Tentang ilmu, keutaman-keutamaannya, bagian-bagiannya dan cara yang seharusnya untu menghasilkan ilmu itu. Karena mencari ilmu itu ibadah, niat tholabul ilmi yang faridhotun itu tidak boleh ditinggalkan. Tentu saja yang dilakukan tholib agar mendapatkan pahala disamping dimaksudkan pula untuk memicu dan memacu semangat pencarian, menangkal pembiasaan, menjaga koinsistensi, menuntun keberhasilan dan tujuan ritualistik yang lain. Dari sinilah seharusnya kandungan kitab ta’limul muatallim didekati. Melakukan niat tholabil ilmi ini diurai pada fasal dua, anniyah fi haalit ta'allumi yaitu kaitamya dengan niat di dalam mencari ilmu.
            Pada fasal ketiga dikemukakan perlunya selektif dalam memilih ilmu, guru dan teman bermusyawarah sebelum terjun kedalam kancah ta'allum. Pada fasal ini muncul keharusan menjaga terus minat ta'allum, konsistensi dan tabah dalam tekun terhadap ilmu yang dipelajari dan dialami. Karena memang ilmu yang dipelajari, guru yang mengajar,dan teman yang bersamanya mandalami ilmu itu, dipilihnya sendiri secara selektif itu tadi.
            Fasal berikutnya adalah tentang kewajiban ta'dhim terhadap ilmu itu sendiri dan ahli ilmu. Fasal keenam adalah tentang bagaimana seharusnya pencari ilmu berbuat. Dia harus sungguh sungguh dan disiplin. Kesungguhannya itu menopang diatas cita-cita yang luhur. Memulai (starting) terjun, memperkirakan kemampuan dan tertib belajar sesuai dengan kondisi diri dan ihwal ilmu yang diterjuni adalah bahasan fasal ketujuh.
            Tawakkal, kapan seharusnya tholibul ilmi, berusaha menghasilkan, ramah dan setia terhadap cita-cita, tidak melewatkan waktunya dan istifadah (membuat catatan-catatan baik dalam tulisan maupun benak), waro' (menjaga makanan dan perbuatan yang dilarang untuk tidak disantap atau dilakukan), apa saja yang membuat orang mudah menghafal dan yang mudah membuat orang gampang lupa dan yang terakhir adalah tentang amalan dan bacaan yang membuat pelakunya tercurahi rizqi Allah. Itu semua adalah pasal kedelapan sampai ketigabelas.
            Asas manfaat yang mendasari keibadahan tholabil 'ilmi sebagai pendekatan. Pada awal coret-coret ini, saya mengemukakan bahwa ilmu nafi' yang muntafa' bih adalah anugerah dari Allah yang "allamal insaana maa lam ya' lam". Manfaat dan guna yang didapat oleh orang yang memperoleh keuntungan dari ilmu itu, tidak hanya didunia ini saja, namun juga akhiratnya. Karena itu untuk menghasilkan ilmu yang bermanfaat, tidak hanya menghajatkan peranan dari pencari ilmu itu sendiri. Peranan Allah dan peranan perantara guru dimana orang berhasil mandapatkan ilmu, sama sekali tidak bisa dipisahkan. Hal-hal yang melibatkan Allah SWT. Demi perkenan-Nya, ridho-Nya, kita menyebutnya ibadah.
            Ibadah sebagaimana amal-amal lain, ada permulaannya, prosesnya dan akhirnya. Masing-masing menghajatkan pada pemenuhan aturan main yang telah ditetapkan agar yang dilakukannya tidak sia-sia dan sah adanya. Apalagi amal ibadah yang bernama tholabil ilmi menempati peringkat diatas qiyamil lail dan puasa sunnah, mengapa? Ya, karena ilmu itulah yang mengantar orang terhormat dan mulia disisi Allah oleh karena ketakwaan, "Inna akromakum 'indallohi atqaakum". Ilmu adalah wasilah untuk takwa dan takwa adalah wasilah mulia 'indallah. Yang mulia 'indalloh (menurut allah ) tentu mulia 'inda siwahu min kholqihi (menurut selain allah ). Ilmu yang menjadi washilah kepada takwa itulah yang dapat disebut sebagai ilmu nafi' wa muntafa' bih (ilmu yang bermanfaat).
            Berangkat dari sini, kiranya tidak berlebihan manakala kita pertama-tama harus mampu menempatkan kedudukan ilmu sedemikian rupa, sehingga ghoyatun nafi' dan intifa' dapat dicapai oleh tholib. Dan pada tempatnya pula dia bersikap ta'dhim terhadap apa dan siapa yang diharapkannya akan memberi manfaat yang sebesar-besarnya kepada dirinya, dunia dan akhirat. Kendatipun dia secara filsofis terpaksa menentukan klasifikasi ta'd'him itu. Tergantung pada siapa dia harus berlaku ta'dhim.
            Memang pada dasarnya sifat batin adalah sifat bathini, karenanya tidak transparan. Tampilannya bisa beberapa bentuk sesuai dangan keadaan. Keadaan mu'adhdhim dan mu'adhdhom itu sendiri, latar belakang keduanya dan seterusnya.


v  PETUAH USFURIYAH ( MAWA’IDUL USFURIYAH )
Kitab karangan Muhammad bin abu bakar al usfuri ini berisi tentang hadis – hadis dan hikayat – hikayat yang mengandung petuah – petuah berharga bagi setiap orang islam serta terlepas dari nilai kekuatan hadisnya. Salah satu hadis yg ada di kitab ini adalah hadis dari umar ia berkata Rasullullah SAW bersabda : “orang – orang yang suka menyayang,mereka itu akan di kasihani oleh Yang Maha Pngasih. Kasihanilah siapa yang di bumi, niscaya kamu akan di kasihani oleh yang berda di  langit” hadis ini kaitannya agar kita mempunyai sikap kasih sayang terhadap sesama makhluk, dari hadis ini di kitab mawa’idul di munculkan hikayat seorang ahli ibadah dari bani Israel yang lewat di suatu gundukan tanah . saat itu bani Israel di timpa kelaparan. Ia bercita – cita dalam hati, seandainya tanah itu berubah menjadi tepung, niscaya bisa mengenyangkan perut bani israil. Kemudian Allah mewahyukan kepada salah seorang nabi mereka ( bani Israel ), “katakanlah kepada si fulan bahwa Allah telah memberikan pahala bagimu seperti andaikan tanah itu berubah menjadi tepung lalu engkau bersedekah dengannya “
Barang siapa mengasihi hamba – hamba Allah, niscaya Allah mengasihinya, karena hamba itu mengasihi hamba – hamba Allah yang lainnya dengan perkataannya : “andaikan tanah itu berubah menjadi tepung niscaya bisa mengenyangkan orang – orang, maka ia pun mendapatkan pahala sebagaimana apabila di lakukannya.”
Masih banyak lagi hadis dan hikayat yang ada di kitab mawaidul usfuri ini dan intinya juga menasehati dan mengajak kita kepada kebaikan seperti larangan berputus asa,anjuran menuntut ilmu, amal yang yang bisa menghapus dosa dan masih banyak lagi.
v  TRADISI AMALIAH NU DAN DALIL- DALILNYA
Ketika islam masuk di Indonesia islam begitu ramah menyapa masyarakat lokal. Kecangihan wali songgo mengakomodasikan budaya – budaya lokal di dalam ajaran – ajaran islam ,menampakkan hasil yang luar biasa pada masyarakat lokal yang tadinya menganut dinamisme dan animisme, pelan – pelan mereka menghadiri majelis – majelis dakwah yang di adakan wali songgo. Mereka hadir bukan karena di paksa tapi sadar karena ajaran islam sangat simpatik dan patut di ikuti.itulah hasil kreasi walisonggo yang patut di apresiasi. Islam adalah agama yang mampu berakulturasi bahkan hampir bisa di katakan tak pernah bermasalah dengan budaya lokal. Bahkan budaya lokal bisa di desain ulang atau di modifikasi dengan tampilan yang elegan menurut syara’ dan lebih berdaya guna demi meningkatkan kesejah teraan hidup.
Tak heran bila kemudian muncul tradisi acara tahlil,yasinan, dzibaan, bertawassul, ziarah kubur, dll. Tradisi yang seperti ini adalah tradisi amaliah warga NU di mana dalam kaidah fikih hal tersebut di katakana sebagai “ al- adah muhakkamah ma lam yu khalif al –syar’I” ( tradisi yang di perbolehkan selama tidak bertentangan dengan dasar – dasar syariah ) tetapi menurut kelompok dakwah usrah atau liqa’ ( faham wahabisme ) mencela dan mengkritik habis tradisi warga NU seperti tahlilan, barjanzi, yasinan, maulidan, ziarah kubur, qunut, adzan jum’at dua kali, dan lainnya adalah perbuatan bid’ah bahkan syirik. Mereka menebar dakwah atas nama pemurnian ajaran islam agar masyarakat segera meninggalkannya. Karena tradisi yang turun – temurun itu menurut mereka ( wahabisme ) tidak pernah di lakukan oleh nabi SAW, dan bukan ibadah yang sesuai dengan tuntunan agama ,melainkan hanya budaya. Itulah mereka ( wahabisme ) yang menafsirkan hadits tentang bid’ah yaitu “kullu bid’atin dholalatun wa kullu dholalatin fii an-nar”  (artinya : semua bid’ah itu sesat dan semua kesesatan itu di neraka ) secara sempit dan dangkal dalam berfikir.
Sedangkan menurut imam nawawi tentang hadist bid’ah di atas adalah hadist tersebut masuk kedalam kategori ‘am (umum ) yang harus di takhsis ( di perinci ) dan juga imam al- hafidz ibnu rajab yang mengatakan bahwa hadist di atas di kategorikan ke dalam ‘am  akan tetapi yang di kehendaki adalah khas ( ‘am yuridu bihil khash ). Artinya secara teks hadis tersebut bersifat umum , namun dalam pemaknaannya di butuhkan rincian- rincian.
Bid’ah sendiri menurut para ulama di dalam ibadah di bagi menjadi dua yaitu bid’ah hasanah dan bid’ah dholalah. Di antara imam yang tersebut adalah imam syafi’I, imam al-baihaqi, imam nawawi, imam al – hafidz ibnu atsitr. Bid’ah hasanah adalah bid’ah yang mencocoki sunnah sedangkan bid’ah dholalah adalah yang tidak mencocoki sunnah.
Lalu pertanyaannya bolehkah melakukan bid’ah ?
Jawabannya yaitu untuk bid’ah dholalah di larang sedangkan untuk melakukan bid’ah hasanah di perbolehkan nabi SAW sesuai sabda beliau yang berarti : “barang siapa yang membut hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak kurang sedikitpun dari pahalanya, dan barang siapa membuat – buat hal baru yang buruk , maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya dan tak di kurangkan sedikitpun dari dosanya.” (shahih muslim no.1017 ) jadi intinya amaliah amaliah warga nu seperti yang saya sebutkan di atas adalah boleh meskipun ada anggapan bahwa itu bid’ah, karena pada zaman nabi tidak ada, meski  menurut para sahabat,tabi’in dan para ulama juga hadist hadist nabi dan ayat – ayat al qur’an yang di jadikan dalil warga NU membolehkan bid’ah yang hasanah asal tidak melenceng dari ajaran islam.

v  FIQH MUAMALAH
Muamalah menurut bahasa berasal dari kata aamala yang berarti saling bertindak, saling mengamalkan. Menurut istilah terbagi manjadi dua yaitu arti sempit dan arti luas.
Dalam arti sempit muamalah di artikan aturan – aturan allah yang wajibb di taati yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam kaitannya dengan memperoleh dan mengembangkan harta benda. Sedangkan menurut arti luas sama – sama mengatur hubungan manusia tapi mencakup waris.
Menurut ibn ‘abidin, fiqh muamalah terbagi menjadi lima bagian yaitu
1.      Mu’awadlah ( hukum kebendaan )
2.      Munakahat ( hukum perkawinan )
3.      Muhasanat ( hukum acara )
4.      Amanat dan ariyah ( pinjaman )
sedangkan al- fikri dalam kitabnya membagi muamalah menjadi dua bagian yaitu al – muamalah al- madiyah (muamalah bersifat kebendaan) seprti benda yang halal haram dan syubhat untukdiperjual belikan, yang kedua yaitu al muamalah al adabiyah yaitu muamalah yang di tinjau dari segi tukar menukar benda yang bersumber dari panca indra manusia,yang unsure penegaknya adalah hak-hak dan kewajiban.
Ruang lingkup fiqh muamalah juga terbagi dua adabiyah dan madiyah, adabiyah kaitanya dengan ijab qabul sedangkan madiyah kaitannya dengan masalah jual beli ,gadai dll.

Fiqh muamalah dalam arti luas juga membahas tentang hokum perdata, hokum perdata positif  ( yang sedang berlaku ) di Indonesia mengatur hokum orang pribadi dan hokum keluarga, hokum benda, dan hokum waris, hukum perikatan, bukti, dan daluwarsa. Hal ini di jelaskan oleh H.A. Dzajuli dalam bukunya ilmu fiqh dengan menyatakan bahwa bidang – bidang tersebut dalam hokum islam terdapat dalam al-ahwalu as-syahsiyah, muamalah dan qadha. Oleh karena itu tidaklah tepat mempersamakan bidang fiqh muamalah dengan hokum perdata. Bahkan ada sebagian hokum perdata oleh para ulama di bahas dalam bidang ushul fiqh,seperti tentang subjek hokum atau orang mukallaf. Sistematik fiqh muamalah dan hokum perdata positif terdapat perbedaan – perbedaan karena sistematika hokum perdata mengatur orang pribadi, sedangkan hokum orang pribadi tidak di jelaskan dalam fiqh muamalah, tetapi di jelaskan di jelaskan dalam ushul fiqh.

0 comments:

Post a Comment

Komentar